Pemimpin, jalan-jalan, keluar masuk kampung, menemui warga, berdialog tanya ini dan itu hingga kemudian menelurkan sebuah rencana untuk mengatasi persoalan mendasar di wilayah itu. Sebuah jalan keluar yang diharapkan sesuai dengan harapan warga yang coba dibantu dengan sebuah kebijakan. Tak perlu menebak-nebak, gambaran pemimpin seperti itu ada dalam diri Jokowi, yang kini dikenal dengan aktifitas ‘blusukan’-nya.

Namun cerita ‘blusukan’ Jokowi belum melahirkan catatan kesuksesan, cerita yang kemudian bisa direplikasi di tempat lain. Ini bukan sebuah kegagalan melainkan memang belum cukup waktu untuk mengukur hasil dari sepak terjang Jokowi sebagai Gubernur Jakarta dengan ‘blusukan’-nya.

Gaya Kepemimpinan Jokowi dan Morihiko
Gaya Kepemimpinan Jokowi dan Morihiko

Morihiko Hiramatsu - Oita

Jauh sebelum Jokowi jadi gubernur Jakarta dan Walikota Solo, di Jepang tepatnya di prefektorat Oita ada sebuah kisah yang hampir sama. Saat itu tahun 1979, Morihiko Hiramatsu mulai menduduki jabatan Gubernur. Dia memulai perjalanan pemerintahannya dengan berkeliling ke berbagai penjuru daerah. Menemui masyarakat, mendengarkan keluhan juga aneka permintaan.

Morihiko menyadari bahwa Oita adalah salah satu daerah di Jepang yang tidak maju, pendapatan per kapita termasuk yang paling rendah, kekayaan alamnya terbatas dan kondisi-kondisi lain yang tidak menguntungkan. Morihiko memandang bahwa penduduk Oita sudah mencapai tahap ‘nrimo’ atas keadaan sehingga tidak mau bangkit untuk memperbaiki keadaan. Keadaan yang sebenarnya hampir sama dengan berbagai wilayah atau masyarakat Indonesia yang juga ‘nrimo’ atas keadaan seperti banjir, longsor, gagal panen, polusi, macet dan lain sebagainya.

Hasil dari ‘blusukan’ Hiromito adalah sebuah program dan gerakan yang dinamai dengan Gerakan Satu Desa, Satu karya. Gerakan yang kemudian banyak ditiru oleh daerah-daerah di negara lain yang populer dengan nama One Village, One Product.Sebuah gerakan yang sebenarnya agak berlawanan dengan maistreams pembangunan di Jepang yang mendasarkan diri pada industri besar dan berbasis pada teknologi tinggi.

Sebagai sebuah gerakan maka langkah-langkah yang dilakukan oleh Morihiko juga tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan para pejabat di Indonesia kala mencanangkan suatu gerakan, seperti Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan Menanam Satu Juta Pohon, Gerakan Hemat Energi dan lain sebagainya. Morihiko pun gemar tampil di televisi mengembar-gemborkan gerakannya.

Lalu apa yang membedakan sehingga Morihiko bisa berhasil?

Prinsip, ya Morihiko menjaga prinsip-prinsip penting dalam gerakan yang dikampanyekan olehnya. Pertama Morihiko mendorong masing-masing daerah menemukan keunikan, kekhasan, apa yang tak dimiliki oleh daerah lainnya. Keunikan yang nantinya bisa jadi kebanggaan sekaligus pemacu motivasi untuk maju.

Prinsip kedua yang digiatkan oleh Morihiko adalah kemandirian dan kreatifitas. Menurutnya pembangunan akan berhasil apabila ditopang oleh masyarakat setempat, bukan karena stimulus atau bantuan dari luar. Pemerintah hanya memberikan dukungan prasarana. Dan prasarana yang dimaksud adalah pembangunan pusat penelitian dan lembaga-lembaga yang bisa memberi bantuan panduan teknis.

Dan prinsip yang terakhir adalah pengembangan sumberdaya manusia yang mengacu pada kekuatan masing-masing daerah. Dengan demikian sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan sumberdaya lokal. Muatan lokalnya besar, begitu seperti yang sering diungkapkan para ahli kurikulum pendidikan di Indonesia.

Dan lima belas tahun kemudian, upaya Morihiko mencapai hasilnya. Oita tumbuh menjadi daerah terkemuka bukan karena menghasilkan robot, kulkas atau kamera. Pendapatan perkapita penduduk Oita naik, karena menghasilkan Satsuma, jeruk terbaik dan termahal di Jepang, juga Wasabi rempah pedas untuk bumbu Shasimi.

Atas cara yang berbeda, Jokowi barangkali bisa disebut tengah melakukan apa yang telah dibuktikan berhasil oleh Morihiko di Oita Jepang. Persoalan mungkin berbeda, Jokowi bukan hendak membebaskan Jakarta dari keterpurukan ekonomi, melainkan keterpurukan lingkungan dan pemukiman di Jakarta. Jakarta yang kumuh, macet, super padat, banjir dan lain sebagainya. Seperti Morihiko,mestinya setelah blusukan dan mendapat berbagai gambaran, usulan maupun pertimbangan-pertimbangan dari masyarakat, Jokowi bersama para staffnya bisa merumuskan strategi dan pendekatan yang secara bermakna mampu melepaskan Jakarta dari masalah klasik yang mendera dari waktu ke waktu.

Andai kemudian Jokowi bisa berhasil, maka kelak dalam pelajaran manajemen tata ruang atau tata kota akan ada bahasan tentang JOKOWIISME, sebuah pendekatan yang mampu merubah wajah Jakarta dari Kampung Besar yang semrawut menjadi kota yang bersih dengan aliran sungai yang jernih dan jalanan tidak macet meskipun kebanyakan warganya mempunyai mobil.


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top